Autopilot adalah si hebat yang kerap disebut pada obrolan bisnis. Mereka yang telah berhasil mewujudkan si hebat ini, dengan menjadikan bisnisnya autopilot kerap membanggakannya, meskipun telepon genggamnya tak henti berdering dari kantornya karena admin menanyakan a to z terkait bisnis hari itu. Ini adalah versi autopilot jadi-jadian ya.
Banyak yang menyebut autopilot adalah bisnis yang dapat berjalan sendiri, tidak perlu diawasi dan uang masuk dengan indahnya secara tetap tentu bahkan bertambah banyak. Ada beda tipis antara bisnis autopilot vs bisnis yang pemilik usahanya abai, dan menganggap bahwa bisnis sudah ada yang urus, lagipula jika ada konsumen mengeluh, maka tinggal diperbaiki saja keluhan yang dimaksud.
Mereka lupa ada yang tidak dapat mereka perbaiki, yaitu hilangnya waktu yang sangat berharga dari konsumen mereka akibat bisnis autopilot jadi-jadian mereka itu.
Bisnis berjalan autopilot tidak berarti harus berbadan hukum, usaha perorangan sekalipun bisa, termasuk para petani mandiri seperti kita ini dengan kolam-kolam di lahan terbatas.
Kami berkeyakinan bahwa bisnis berjalan autopilot itu adalah bisnis yang pada setiap proses usahanya terjadi pengendalian dan pengawasan mutu yang berjalan tanpa perlu dilakukan sendiri oleh kita sebagai pemilik usaha. Namun pemlik usaha wajib untuk selalu mengawasi dan meninjau ulang proses bisnisnya dengan merujuk pada KPI (Key Performance Indicator) yang ditetapkannya.
Tujuan dari pengendalian dan pengawasan mutu yang berjalan secara otomatis ini adalah agar dapat disediakan informasi yang cepat, tepat dan efisien.
Informasi yang cepat, tepat dan efisien yang paling utama ditujukan untuk konsumen, lalu kepada pemangku kepentingan lainnya, seperti pemilik usaha dan rekan bisnis, serta pekerja di sana. Terkait hubungannya dengan konsumen, memberikan informasi yang jelas untuk layanan dan produk yang dijual oleh pelaku usaha adalah kewajiban dari pelaku usaha yang diatur pada pasal 7 UU no. 8 tahun 1999 dan adalah hak yang harus diterima oleh konsumen sebagaimana ditulis pada pasal 4 UU no. 8 tahun 1999 tersebut.
Mengenai konsumen dalam tafsir bebas, adalah para pihak yang telah menunaikan kewajibannya untuk dapat mendapatkan haknya sesuai dengan kewajibannya itu. Jadi karyawan adalah konsumen pada kondisi tersebut juga.
Ketika informasi yang diberikan kepada konsumen cepat, tepat dan efisien maka tingkat kepuasan konsumen akan berkontribusi pada naiknya tingkat kepercayaan pada bisnis yang berujung pada kelestarian usaha.
Membuat bisnis menjadi autopilot berarti fokus pada menata proses pada setiap bagian bisnis dan memastikan bahwa pada setiap proses terjadi pengendalian dan pengawasan mutu yang ketat melalui dokumentasi termasuk di dalamnya adalah penggunaan formulir, foto dan kanal komunikasi. Jadi bukan mengawasi orangnya, tapi mengawasi proses dan pengendalian serta pengawasan mutu yang ketat pada setiap proses yang berjalan tersebut. Sehingga orang akan dengan serta merta ikut pada sistem yang dibentuk, bukan sistem yang ikut pada orang yang ada pada proses bisnis tersebut.
Bisnis yang berjalan autopilot tidak akan terlepas dari penggunaan otomatisasi termasuk perangkat lunak terhubung, sehingga dengan demikian bisnis yang sudah dapat dijadikan autopilot lebih mudah untuk diduplikasi.
Sebagai rujukan manfaat menerapkan bisnis yang berjalan autopilot bisa lihat ini .
Hal berikut ini diperlukan sebagai inisiasi:
Mendefinisikan proses bisnis yang berjalan dan atau akan sedang berjalan / ingin dilakukan.
Mendefinisikan kapasitas sumber daya manusia yang ada saat ini, serta tindakan yang harus diambil untuk menaikan kapasitas perorangannya dan atau kapasitas kolektifnya.
Mendefinisikan standar kualitas yang ingin dicapai berkelanjutan dan konsisten.
Membuat urutan pekerjaan yang harus dilakukan agar pengendalian dan pengawasan mutu dapat diterapkan.
Membuat tata kelola untuk memadukan keempat hal tersebut.
Mendefinisikan kapan harus berhenti melakukan penjualan dan atau menerima konsumen baru berdasarkan pada tata kelola tersebut, aka tidak lagi menerima layanan penjualan dan jasa pada kapasitas yang telah dicapai dan tindakan yang harus dilakukan untuk mengendalikan kapasitas optimal tersebut.
Cermati pentingnya mendefinisikan proses bisnis, kapasitas, serta standar kualitas yang akan dieksekusi pada urutan pekerjaan dan tata kelola untuk memadukan kapasitas SDM, dan standar kualitas yang ingin dicapai konsisten dan berkelanjutan pada proses bisnis yang berjalan atau akan sedang berjalan.
Kami jabarkan ini sebagai berikut:
Urutan proses bisnis harus didefinisikan dengan jelas, misalkan pada proses usaha jasa:
Apakah itu pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam satu hari, ataukah membutuhkan lebih banyak waktu untuk penyelesaiannya.
Apakah penyelesaian yang membutuhkan lebih banyak waktu tersebut disebabkan karena pekerjaan yang harus dilakukan sequential yang tidak mungkin dilakukan serentak, karena proses pengerjaannya, bukan karena kekurangan tenaga kerja.
Sumber daya manusia yang paling sulit didefinisikan kapasitasnya adalah pemilik usaha, sebab mereka kerap menganggap bahwa masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia ada pada para pekerjanya, bukan pada diri mereka sendiri. Padahal sebenarnya, kualitas sumber daya manusia yang rendah pada para pekerjanya terjadi karena kualitas sumber daya manusia yang rendah pada dirinya sendiri.
Termasuk dalam hal ini adalah ingin membayar pekerja dengan harga murah, mencari orang yang bisa kerja bukan yang terampil, atau mengharapkan pekerja menjadi super multi tasker karena ingin mengirit biaya upah, enggan membuat struktur dan jenjang pengawasan serta otoritas, serahkan pada anggota keluarga yang meskipun tidak terampil yang penting jujur, serta segala serba-serbi seperti itu.
Pemilik usaha kerap bertindak bukan sebagai pemimpin yang memberikan arahan dan terlibat langsung pada pelaksanaan pengendalian dan pengawasan mutu, namun hanya sebagai boss yang memeriksa hasil akhir pekerjaan saja, dan itupun tidak dapat dipastikan kehandalannya, sebab dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia di pemilik usaha, maka pengawasannya hanyalah pada tahapan selesai, bukan pada hasil akhir pekerjaan yang handal.
Pada model seperti itu, meskipun keluhan konsumen diterima dan diperbaiki, namun masih jauh panggang daripada api untuk menuju usaha autopilot, sebab ketidak-sadaran akan kualitas sumber daya manusia yang rendah dari pemilik usaha adalah pokok utama bagi gagalnya suatu usaha menjadi autopilot, kecuali autopilot jadi-jadian ya aka bisnis diabaikan karena menganggap sudah ada orang yang bisa urus, dan keluhan dapat ditangani dengan melupakan bahwa ada waktu konsumen terbuang yang tidak dapat diperbaiki.
Pada kapasitas pekerja, maka perlu didefinisikan pada dua kelompok saja:
Pekerja dengan ketrampilan teknis yang tinggi pada tugas pekerjaannya sebagai pekerja pelaksana. Kelompok ini adalah pekerja lapangan, pelaksana teknis / teknisi, mekanik, anak buah kolam, dkknya.
Pekerja dengan ketrampilan administratif pengelolaan pada kelompok pekerjaan yang dihadapi. Kelompok ini adalah pekerja di belakang meja dan dapat turun ke lapangan untuk melakukan verifikasi dan validasi sebelum dan sesudah pekerjaan selesai yang disejajarkan dengan tenggat waktu yang dibuat.
Kualitas pekerjaan dapat dibagi 2 saja, yaitu:
Selesai, pekerjaan yang selesai belum tentu handal
Handal, perjaan yang handal jelas harus selesai agar dapat diuji dan dilihat kehandalannya.
Pada kedua kualitas di atas melekat kerapihan dan kebersihan yang juga adalah bagian dari konsep 5S / 5R; Seiri (Ringkas), Seiton (Rapi), Seiso (Resik), Seiketsu (Rawat), Shitsuke (Rajin).
Urutan prioritas adalah bagian dari rencana kerja yang memuat informasi kapan pekerjaan diterima, kapan pekerjaan akan dimulai dan kapan pekerjaan harus berakhir. Selanjutnya dibuat pengelompokan pekerjaan dan detil dari masing-masing pekerjaan disertai dengan kapan dimulai dan kapan harus berakhir. Urutan prioritas pekerjaan jangan dilihat pada perspektif mudah dikerjakan oleh pemilik usaha, namun pada seberapa bermanfaat dan untungnya konsumen jika urutan tersebut dilakukan. Sekali lagi fokusnya pada manfaat konsumen, bukan hanya melihat pada manfaat di pelaku usaha.
Bahasa lainnya adalah mengintegrasikan keempat hal tersebut di atas dalam bentuk prosedur tertulis serta formulir-formulir yang harus diisi, dokumentasi pada pekerjaan berjalan hingga selesai dan kanal komunikasi yang digunakan.
Berhenti, iya betul berhenti tidak lagi menjual / menerima konsumen baru jika telah tercapai kapasitas optimal yang direncanakan.
Konsumen yang ada dalam basis data pelanggan lakukan tindak-lanjut bisa dengan memasukan mereka dalam channel telegram atau dorong mereka bergabung dalam halaman IG kita, atau menghubungi mereka masing-masing secara tetap tentu, untuk mempertahankan keterikatan bukan sekedar menanyakan pesanan.
Jadi dengan berhenti menjual / menerima konsumen baru bukan berarti usahanya berhenti jadi begitu-begitu saja, tapi justru melakukan intensifikasi serta saatnya untuk melakukan duplikasi dengan membuka kolam baru / perluasan usaha.
Contoh implementasi jasa klik ini.
Contoh implementasi produk / barang klik ini .
Jadi suatu usaha untuk menjadi autopilot maka syarat dasar / inisiasi yang perlu dibuat adalah:
Tatakelola bisnis yang sederhana dengan SOP yang mudah diikuti, lihat penjabaran ada di atas terdiri 4 tindakan mendefinisikan serta 2 tindakan yang dibuat untuk mengeksekusi definisi yang diyakini benar untuk kelanjutan usaha dan terwujudnya bisnis autopilot yang diinginkan.
Sumber Daya Manusia yang dilatih dan dibayar dengan wajar
Sistem Pengawasan terintegrasi yang dapat dikendalikan dari jauh (remote)
Ingat: Pada bisnis yang sulit menjadi autopilot masalah terbesar adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia dari pemilik usaha itu sendiri, bukan rendahnya kualitas pekerja mereka, sebab pekerja bisa diganti, namun masa kita rela diganti sebagai pemilik usaha?
Ingin tahu lebih banyak kelanjutan dari artikel ini, atau ingin ngobrol lebih lanjut dengan kami? Silahkan hubungi kami di telegram klik ini atau bergabung di group telegram khusus Pelaku Usaha Budidaya Ikan Nila Nasional, klik ini.